GTM Menyongsong Indonesia Baru

Mamasa-- "GTM sebuah gereja yang besar jumlah warga dan bilangan jemaatnya dalam susunan struktur dan kelembagaan yang relatif kokoh, tersebar di pedesaan dan juga di perkotaan, hadir dalam suatu kantong wilayah Kristen, berakar dalam suatu masyarakat yang relatif sama tradisi dan perkembangannya, dan terjalin dalam hubungan kerjasama ekumenis regional maupun global, serta adanya hubungan-hubungan baik dengan pemerintah."
Demikian rangkuman tulisan Pdt. Zakaria J Ngelow mengenai posisi Gereja Toraja Mamasa (GTM) menyongsong era baru, Indonesia Baru. Berikut tulisan lengkap Zakaria J Ngelow yang dibawakan pada kesempatan Pertemuan Pendeta GEREJA TORAJA MAMASAdi Mamasa, 15 September 2000 silam.


Jati Diri dan Panggilan
Gereja Toraja Mamasa (GTM) adalah gereja dan karena itu perlu merumuskan identitasnya pertama-tama sebagai gereja. Gereja bukan saja suatu persekutuan yang dipilih dari dalam dunia melainkan serentak gereja adalah pula persekutuan yang diutus ke dalam dunia. Pengutusan itu untuk menyampaikan Injil, Kabar Baik, atau mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat, yakni damai sejahtera, keadilan dan persaudaraan. Maka identitas gereja adalah persekutuan yang diberi tanggungjawab untuk (turut) mewujudkan masyarakat ideal di mana semua orang mengalami damai sejahtera, keadilan, dan dalam alam ciptaan yang utuh dan lestari. GTM, dalam arti setiap persekutuan jemaatnya adalah suatu perwujudan penuh gereja Tuhan di dalam dunia.

Maka bagi GTM, identitas bersama semua gereja itu terkait dengan konteks GTM, baik sejarah dan kelembagaannya maupun latar sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, dan sebagainya termasuk lingkungan alam masyarakatnya. Artinya, identitas GTM tidak dapat dilepaskan dari berbagai kenyataan di mana jemaat-jemaat GTM hadir menjalankan panggilannya. Konteks GTM di sini perlu difahami baik dalam tingkatan satuan persekutuan dalam struktur persekutuan GTM, mulai dari jemaat sampai sinode, maupun tingkatan satuan struktur administrasi pemerintahan dari RT/dusun sampai kesatuan nasional. Malahan secara teologis, seluruh dunia adalah alamat panggilan / pengutusan GTM. Karena identitas itu maka GTM berkewajiban menjalankan panggilannya mewujudkan masyarakat yang berdamai sejahtera, adil dan alam yang utuh.

Saya ingin menekankan bahwa panggilan gereja bukan terutama (walaupun juga penting) untuk menjalankan ritus: upacara agama, kebaktian, doa, nyanyian atau pemberitaan firman secara verbal (kata-kata), melainkan untuk bekerja bagi kemajuan masyarakat, baik kemajuan akhlak-kepribadian maupun kemajuan sosial dalam bentuk kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang. Saya merujuk pada pemberitaan para nabi (Yesaya, Yermia, Amos, dll) yang mengeritik dengan sengit keberagamaan umat Tuhan pada zaman mereka: rajin atau setia melakukan penyembahan, namun akhlak mereka dalam kehidupan sosial bertentangan dengan kehendak Tuhan: penguasa dan pejabat agama bertindak amoral, sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, hukum diputarbalik, tidak ada keadilan. Sebab itu pula pengajaran dan teladan Yesus Kristus bukanlah kesalehan ritual melainkan kesalehan sosial: hubungan baik dan perhatian kepada sesama manusia, khususnya melayani mereka yang susah ...

Kesadaran ini makin meluas dewasa ini. Di seluruh dunia bukan saja gereja-gereja tetapi juga lembaga dan penganut agama-agama lain makin terarah pada peran sosial agama membina akhlak kemanusiaan dan membangun masyarakat.


Tiga Agenda
Dengan catatan pengantar di atas, kita kini dapat melangkah pada pembahasan mengenai panggilan konkret GTM dewasa ini. Ada baiknya kita menjabarkan hal ini dalam 3 pertanyaan pokok:

(1) tantangan apa yang dihadapi masyarakat di mana GTM dipanggil melayani (ingatlah konteks lokal sampai nasional dan global)?
(2) peran apa yang perlu dan dapat dijalankan GTM?
(3) kesiapan apa yang perlu dikembangkan (para pendeta) GTM untuk menjalankan peran itu?

Pertama-tama, perlu kita identifikasi bahwa yang kita maksud dengan GTM di sini adalah seluruh jajaran GTM secara kelembagaan dari jemaat sampai sinode. Dalam analisa peran, pentinglah untuk menyadari betapa besar potensi yang tersedia untuk menjalankan panggilan gereja itu.

Pokok pertanyaan pertama mengenai tantangan pelayanan GTM. Dengan mengacu pada konteks sempit GTM sebagai gereja yang hadir di pedesaan dan diperkotaan Sulawesi Selatan, dan yang secara eksklusif merupakan gereja suku masyarakat Toraja Mamasa (termasuk PUS dan Mamuju, yang selanjutnya saya istilahkan Toraja Barat) dapatlah secara umum kita menyatakan bahwa tantangan pokok GTM adalah memajukan manusia dan masyarakat Toraja Barat, termasuk tanggungjawab pengelolaan lingkungan alamnya.

Tema kita, Indonesia Baru, mengandaikan suatu perubahan kualitatif dari Indonesia yang serba kurang ke Indonesia yang serba maju:

* kualitas akhlak dan penguasaan ilmu & teknologi manusia Indonesia --dalam ungkapan saudara-saudara Muslim: imtak dan iptek- (sehingga orang Indonesia mendapat terhormat dalam pergaulan antar-bangsa),
* tingkat ekonomi yang relatif cukup dan merata (krisis ekonomi diatasi, kesenjangan sosial diperkecil),
* rasa damai dan persaudaraan antar semua golongan dan kemampuan meminimalkan konflik (semangat pluralitas menggantikan primordialisme),
* mantapnya pengehargaan HAM dengan penegakan hukum,
* pemerintahan yang stabil dalam tatanan demokrasi yang sehat (sesuai ideal civil society),
* sarana / prasarana kehidupan umum merata di semua daerah, dan tak kurang pentingnya,
* alam dan lingkungan hidup Indonesia terpelihara baik.

Daftar ini masih dapat diteruskan. Tetapi ada dua catatan: (1) Jangan gereja terjebak pada impian "teologi sukses", dan pada pandangan yang memandang perjalanan sejarah sebagai proses otomatis ke arah kemajuan. Panggilan gereja bukan membuat Kerajaan Sorga di bumi, melainkan menampakkan tanda-tanda Kerajaan itu, khususnya bagi mereka yang lemah, miskin, atau tertindas. (2) Cita-cita Indonesia Baru perlu diletakkan dalam konteks aktual masyarakat Toraja Barat, dengan memahami secara mendasar tantangan-tantangannya dan selanjutnya merumuskan pemecahan-pemecahan strategis sebagai acuan untuk penyusunan program.

Pada hemat saya, sedikitnya ada 3 tantangan pokok masyarakat Toraja Barat yang terkait dengan pencapaian cita-cita Indonesia Baru, yakni peningkatan SDM, rekonstruksi sosial, dan peningkatan kesadaran hukum dan HAM. Mengenai SDM, sudah jelas bahwa diperlukan lembaga pendidikan / pembinaan yang bermutu dan merata, mulai pada tingkat dasar sampai menengah, yang memberi kesempatan kepada putera-puteri Toraja Barat memperoleh pendidikan yang baik sampai pada tingkat menengah untuk dapat melanjutkan pada pendidikan tinggi di kota-kota besar. Fasilitas perpustakaan dan laboratorium merupakan kebutuhan pokok bagi pendidikan yang bermutu. Pendidikan formal tentu perlu dilengkapi pendidikan iman / akhlak yang handal supaya mereka tahan uji di perantauan, yang merupakan tanggungjawab gereja. Untuk itu gereja perlu merumuskan pendidikan Kristen yang relvan, yakni yang memperlengkapi warga menghadapi perkembangan dunia moderen. Kita mengimpikan bahwa dengan cara itu akan muncul generasi terpelajar yang merupakan kader-kader handal dalam berbagai bidang dan tingkatan. Dengan sendirinya masyarakat Toraja Barat akan memperoleh manfaat langsung dari adanya kader-kader terpelajar yang tersebar baik di daerah maupun di tempat-tempat lain termasuk yang go international (bukan sebagai TKI/TKW).

Kita pantas menyesali bahwa badan zending yang bekerja di daerah Toraja Barat (ZCGK) dan kemudian gereja tidak memberi perhatian terhadap pendidikan dan transformasi masyarakat sehingga masyarakat di daerah ini sangat ketinggalan, dibandingkan dengan Tana Toraja (GZB) atau Tana Batak (RMG). Dan saatnya kini untuk mengejar ketinggalan itu.

Pengembangan kader terkait langsung dengan penataan ulang satuan-satuan masyarakat Toraja Barat. Generasi muda yang berpotensi muncul dari dalam masyarakat yang utuh. Rekonstruksi sosial merupakan kebutuhan mendasar dan mendesak dalam rangka transformasi masyarakat pedesaan menuju masyarakat industri (untuk kasus Toraja Barat dari masyarakat agraris tradisional ke agro-industry), dan khususnya pula rekonstruksi dalam rangka reformasi nasional setelah semua pengalaman pahit selama masa Orde Baru, bahkan sebelumnya. Pengalaman masyarakat "pedalaman Sulawesi" (Toraja, Mamasa, Luwu, Pamona, Mori, Lore, Kulawi dll) dalam kurun waktu antara 80 - 100 tahun terakhir sangatlah dramatis: kolonialisme, zending, Jepang, Perang kemerdekaan, DI/TII, PERMESTA, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi ... Belum lagi pengaruh kebudayaan global yang ditopang teknologi media / informasi canggih seperti koran, radio, TV, dan juga melalui industri turisme!

Pengalaman yang demikian dinamis, bahkan dramatis, dalam tempo yang relatif singkat, memang menggoyahkan sendi-sendi kebudayaan dan tatanan masyarakat kita. Persoalan di sini bukan terutama kembali ke "zaman normal" masa silam, melainkan bagaimana memampukan masyarakat menyesuaikan diri dengan dinamika dan perubahan-perubahan sambil mengontrol arah atau bentuk perubahan-perubahan itu. Saya menulis dalam suatu karangan singkat mengenai "mangaro" di Tandalangan dalam rangka panggilan penataan sosial GTM. Termasuk juga dalam rekonstruksi dan transformasi sosial mengemabngkan kearifan menangani konflik-konflik sosial (dan rekonsiliasi), dan pembinaan masyarakat yang mandiri demi pengembangan demokrasi.

Yang ketiga, juga terkait, yakni pembinaan kesadaran hukum dan HAM, yang merupakan keniscayaan dalam transformasi dan rekonstruksi sosial. Kesadaran hukum dan HAM menunjuk pada keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam hubungan antar-manusia, dan antara manusia dengan alam (HAM menyangkut pula tanggung jawab melestarikan alam sebagai hak asasi manusia generasi mendatang) yang pada gilirannya dapat memperkuat akhlak dan memperkuat kebersamaan yang sehat. Tanpa kesadaran hukum dan HAM cenderung terjadi penindasan atau penepian (marginalisasi) kelompok masyarakat yang lemah.

Pandu Budaya?
Mengenai pokok persoalan kedua, peran apa yang perlu dan dapat dijalankan GTM, secara singkat hendak saya bahas sebagai pengantar untuk diskusi kelompok. Ada baiknya GTM menyadari betapa besar tanggungjawab yang dibebankan Tuhan menghadapi masalah-masalah itu. Namun bersama dengan itu juga GTM perlu menyadari betapa besar potensi yang diberikan Tuhan. GTM sebuah gereja yang besar jumlah warga dan bilangan jemaatnya dalam susunan struktur dan kelembagaan yang relatif kokoh, tersebar di pedesaan dan juga di perkotaan, hadir dalam suatu kantong wilayah Kristen, berakar dalam suatu masyarakat yang relatif sama tradisi dan perkembangannya, dan terjalin dalam hubungan kerjasama ekumenis regional maupun global, serta adanya hubungan-hubungan baik dengan pemerintah. Dengan semua potensi itu terpulang kepada seluruh jajaran GTM untuk mengelolanya bagi pelaksanaan panggilan pelayanannya. Dan pengelolaan potensi itu jelas perlu diarahkan pada peran GTM mendampingi dan memberdayakan masyarakat Toraja Barat, khususnya dalam menjawab ketiga tantangan yang diuraikan di atas.

Dengan kata lain, GTM perlu mengambil peran yang dalam Gereja Toraja diistilahkan "pandu budaya". Di bidang pendidikan, misalnya, jika GTM belum siap menyelenggarakan sekolah-sekolah Kristen (harap maklum saya lulusan SD dan SMP Kondo Sapata Makassar!) mengapa tidak mempersiapkan guru-guru yang bermutu dengan memberi beasiswa pendidikan guru kepada pemuda-pemudi yang berbakat. Dalam rekonstruksi dan transformasi sosial, peran para pendeta dan pejabat-pejabat gereja lainnya sebagai tokoh-tokoh masyarakat setempat sangat besar.

Kendalanya, mungkin terletak pada orientasi pelayanan gereja yang masih berpusat pada ritual / peribadahan. Mungkin pula pada kecenderungan eksklusif untuk bekerja dalam garis prinsip dari gereja - oleh gereja - untuk gereja. Kemitraan sudah harus dikembangkan dengan berbagai potensi dalam masyarakat, juga di luar gereja, untuk bersama-sama membangun masa depan bersama.

Kiranya terjawablah puncak persoalan kita: kesiapan apa yang perlu dikembangkan (para pendeta / pelayan) GTM untuk menjalankan perannya? Jawabannya adalah visi dan komitmen. Para pelayan GTM perlu menyamakan visi, yakni harapan apa yang dicita-citakan bersama bagi seluruh masyarakat, dan bertekad mengabdikan diri dalam kebersamaan untuk mewujudkannya dalam pelayanan masing-masing. Ini makna judul puitis presentasi ini yang disitir dari sejarah masyarakat Toraja.

Pokok-pokok pertanyaan untuk diskusi kelompok:
1. Apakah pemahaman mengenai panggilan sosial gereja yang diajukan dalam ceramah ini cocok dengan kenyataan pelayanan dalam jemaat-jemaat GTM? Apakah pemahaman ini dapat diterima sebagai sesuai dengan Firman Tuhan?

2. Apakah saudara-saudara melihat pokok-pokok persoalan lain yang juga sama atau lebih urgen diprioritaskan dalam panggilan sosial GTM? Pokok-pokok manakah itu?

3. Kelemahan-kelemahan atau kendala-kendala apa yang dihadapi GTM (baik pada aras sinode maupun jemaat) untuk menjalankan panggilan itu? Apakah struktur organisasi dan pelembagaan pelayanan yang ada cukup relevan mendukung GTM melaksanakan panggilan sosial gereja?

3. Apakah para pendeta (dan pelayan gereja lainnya) telah dipersiapkan (melalui penataran, seminar, PA, dsb) untuk menjalankan peran itu? Pembekalan apakah yang perlu diprioritaskan untuk memberdayakan para pelayan menjalankan tugas-tugas itu?

* * *
Disampaikan pada Pertemuan Pendeta GEREJA TORAJA MAMASA
di Mamasa, 15 September 2000

(www.oaseonline.org/artikel/gtm2000.htm), ( mamasa-online.blogspot.com )

Tidak ada komentar: